25 Februari 2008

Jiwa Climbers

oleh Hibur Tanis

1.Hidup Kita Terus Mendaki

Kita dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi untuk terus Mendaki Pendakian = menggerakkan tujuan hidup ke depan, apa pun tujuan itu Pendakian bagi setiap orang bisa berkaitan dengan macam-macam hal Setiap pendakian selalu ada tantangan, yang tidak dapat dijawab hanya dengan IQ atau EQ yang tinggi.


2. Adversity Quotient (AQ) AQ = Penentu utama bagi kesuksesan mencapai puncak pendakian AQ memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya Orang ber-AQ tinggi mampu mengubah tantangan menjadi peluang untuk sukses. Dalam kenyataannya, respon orang dalam menghadapi pendakian tidak sama. Ada yang langsung berhenti di awal pendakian (Quitters), ada yang berhenti dan tinggal di pertengahan pendakian (Campers), dan sebagian kecil yang terus bergerak menuju puncak pendakian (Climbers) Hanya yang memiliki AQ tinggi (ulet, gigih, tekun, tahan banting, tabah dan pantang menyerah) yang mampu menembus berbagai kesulitan, dan bergerak terus ke pendakian yang semakin tinggi

3. Quitters Jumlah mereka cukup banyak, sehingga mereka tidak perlu kesepian Mereka memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti di awal pendakian Quitters bekerja sekedar cukup untuk hidup, punya semangat yang minim, mengambil resiko sesedikit mungkin, dan biasanya tidak kreatif Melawan atau menghindari perubahan Mereka umumnya menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi, yang menyatakan bahwa sesuatu tidak bisa jalan atau dilaksanakan (=ungkapan pesimis) Mereka tidak punya visi, dan kontribusi mereka dalam kehidupan sangat kecil


4. Campers = Jumlah mereka lumayan banyak juga Mereka mendaki tidak seberapa tinggi, lalu berhenti Mereka mencari tempat yang datar dan nyaman untuk berkemah, yang dijadikan tempat bersembunyi dari situasi yang semakin tidak bersahabat Mereka telah menanggapi tantangan pendakian dan telah mencapai tingkat tertentu Pendakian yang tidak selesai itu dianggap sebagai kesuksesan Mereka tidak bisa mempertahankan keberhasilan itu, karena pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang, Campers Campers memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat mereka capai Campers menciptakan semacam "penjara yang nyaman", sebuah tempat yang terlalu enak untuk ditinggalkan Mereka memiliki pekerjaan yang bagus dan gaji serta tunjangan yang cukup layak. Mereka cukup bahkan sangat puas dengan itu Campers adalah satisficer, yang merasa puas diri dengan keadaan yang sudah mereka capai Masih terbuka untuk merespon perubahan, namun menolak perubahan besar yang mengganggu kenyamanan mereka Lebih banyak menggunakan bahasa kompromi, yang memberi alasan mengapa pendakian sebetulnya tidak perlu dilanjutkan.

5. Climbers Sebutan bagi yang membaktikan dirinya bagi pendakian Jumlah mereka sedikit dibandingkan Quitters dan Campers Pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan dan tak membiarkan apa saja menghalangi pendakian mereka. Kegembiraan yang sesungguhnya adalah anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan Tidak pernah melupakan "kekuatan" dari perjalanan yang pernah ditempuhnya Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Inilah yang membuat mereka dapat bertahan, meski orang lain sudah menyerah Kadang merasa perlu mundur untuk bergerak lebih maju lagi.Climbers menempuh kesulitan-kesulitan dengan keberanian dan disiplin diri yang tinggi.Kadang mereka berkumpul di perkemahan Campers, tapi hanya untuk mengumpulkan tenaga baru (Campers barada disana untuk menetap = rumah) Menyambut baik tantangan yang disodorkan pada mereka Dapat memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup Cenderung membuat segala sesuatunya terwujud Membaktikan diri pada pertumbuhan dan belajar seumur hidup Akrab dengan prinsip perbaikan terus menerus Climbers tidak berhenti pada gelar atau jabatan saja Mereka selalu mencari cara-cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusiClimbers menyambut baik bahkan mendorong perubahan Memanfaatkan tantangan yang ditawarkan oleh perubahan untuk bergerak maju ke atas Bahasa yang mereka gunakan penuh dengan kemungkinan, berbicara mengenai apa yang bisa dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya Climbers memberi kontribusi paling besar dalam kehidupan Kesulitan bukan sesuatu yang asing bagi mereka. Climbers tidak melanjutkan pendakian karena kurangnya tantangan. Mendaki sama dengan berenang kehulu Banyak Climbers yang sudah berada di puncak mempunyai latar belakang yang suram dan bergelimang kesulitan Mereka memahami betul bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Maka menghindari kesulitan sama dengan menghindari kehidupan.

> Saya yakin utuk saat ini, satu-satunya putra Seko yang memiliki jiwa Climbers adalah dia yang sedang membaca tulisan ini.

17 Februari 2008

Meninggal: Pdt. Yan Tandilolo,M.Div

Di saat-saat kebaktian pelepasan jenazah Ny. Barnece Sonda Samben, isteri guru senior dari Seko, A. Kamandi Samben, tanggal 16 Februari sore di Seriti, Lamasi Timur, saya menerima berita melalui HP bahwa Om Papa Lori (Pdt. Yan Tandilolo) baru saja dipanggil ke rumah Bapa dalam perawatan di RS UKI, Cawang, Jakarta. Sebelumnya pada saat-saat kritis saya sempat berbicara dengan Tante Mama Lori (Ny. magda Tandilolo-Bassiang) dan Tante Mama Richard (Ny. Tien Lembeh, iparnya) yang menunggui di ICU.

Almarhum Om Papa Lori lahir pada tgl 31 Desember 1939 di Beroppa', Seko. Putra H. Takudo, Kapala Beroppa. Menikah dengan Magdalena Bassiang, seorang perawat, dan dikaruniai seorang putri (Laurie) dan 2 orang putra (Edo dan Theo). Dalam jajaran Gereja Toraja pernah menjadi Ketua Sinode Wilayah II Luwu, Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode KUGT (Pdt. Dr. Theo Kobong sebagai Ketua), dan Pendeta Klasis Jawa, dan Moderamen Sinode. Pernah menjadi sekretaris dan kemudian Ketua PGIW Jakarta Raya dan sekitarnya.

Almarhum bertumbuh sebagai seorang remaja/pemuda pada saat-saat Seko diduduki Gerombolan DI/TII, tetapi kemudian dapat melarikan diri dan merantau. Almarhum menempuh pendidikan teologi pada Sekolah Pendeta Makassar, kemudian melanjutkan beberapa lamanya di Australia dalam bidang Christian Education, dan kemudian juga di STT Tiranus Bandung.

Dengan meninggalnya Om Tandilolo masyarakat Seko kehilangan salah seorang tokoh kebanggaannya. Semoga Tuhan menguatkan Tante Mama Lori, adik-adik Laurie, Theo dan Edo serta seluruh keluarga.

Catatan Wawancara

Tahun 1946 Yan Tandilolo ke Makale masuk Lagere School (berbahasa Belanda sampai tahun 1949, lalu berbahasa Indonesia), tammat tahun 1952. Pulang ke kampung dan berencana sekolah lagi tapi tidak bisa karena pendudukan gerombolan. Sempat ikut SMP gerombolan di Pehoneang, yang diajar a.l. oleh Lembeh (kakaknya), Fr. Pataang Sa'bi, Lallo Bethony, dan Panunda. Tidak lanjut, dan akhirnya menjadi pengawal Magading, komandan gerombolan yang tinggal satu tahun di Beroppa'. Magading dengan 46 orang anak buahnya (termasuk Yan Tandilolo) meninggalkan perjuangan gerombolan DI/TII ke arah Mauju. Sesudah beberapa bulan mengembara tanpa tujuan dalam kelompok kelompok kecil-kecil (3 orang), mereka akhirnya menyerahkan diri kepada TNI Batalyon 441/Diponegoro di Sempaga pada tanggal 21 April 1954.

Setelah bebas dari gerombolan Yan Tandilolo pergi ke Makki menjumpai orang tua yang sudah mengungsi di sana. Lalu Yan Tandilolo melanjutkan sekolah di SMP Kristen di Makale, menumpang pada kel. Kombo' Saroengngoe'. Waktu itu ada Kel. Lallo Bethony dan Tandi di Makale yang bekerja pada KUGT. Karena sudah pernah mengikuti pelajaran di SMP gerombolan, Yan Tandilolo dites dan ternyata bisa langsung masuk ke kelas III. Pihak Katolik menawarkan masuk SMP Katolik dengan gratis, tetapi Yan menolak. Menjelang Ujian Kel. Kombo' pindah ke Palopo sehingga pindah menumpang pada Kel. Lallo Bethony. Yan menammatkan SMP pada tahun 1957. Pada tahun 1957 itu Yan ikut PON IV di Makassar sebagai tim kebelasan sepak bola. Bersama Kadette' mereka tinggal di Makassar pada Kel. Silomba (J.S. Latief). Sesudah PON itu Yan masuk Sekolah Asisten Apotekker (di dekat Benteng Ujung Pandang) sambil belajar pada suatu SMA untuk Pegawai, yang a.l. diajar oleh Pak Siriwa (Ir.Piet Siriwa). Tidak sempat tammat. Pada suatu kesempatan jumpa dengan M.E. Duyverman (dosen Akademi Theologia Makassar), lalu Yan diterima masuk sekolah teologi pada tahun 1958. Teman-temannya a.l. Tony Furinor, dan Ch. Takandjandji, serta D.P. Kalambo.

Tammat Akademi Teologia Makassar pada tahun 1962. Tahun 1963 ikut pemuda PGI (caravan team ke Manado pimpinan Pak Kobong); dan tahun 1964 magang di GKI Jatim membantu Drs. Han Bian Kong. Diurapi sebagai pendeta Gereja Toraja pada bulan April 1965. Tahun 1965-1968 bertugas di Parepare; Pertengahan 1968 ke DGI (bekerja di Komisi Pemuda). Tahun 1969 ada tawaran beasiswa untuk studi di luar negeri. Dari 50 calon, hanya Yan (ke Australia) dan seorang dari HKBP (ke Filipina) yang lulus. Di Australia sempat menghadiri suatu konperensi PAK se-Asia di Perth (selama 3 minggu) pada tahun 1969. Bulan April 1970 sampai April 1972 studi di Australia di bidang Christian Education. Bulan Agustus 1972 ditempatkan di Palopo.

(Wawancara tgl 17 April 1991 di Tanjung Priok, Jakarta)

Zakaria Ngelow

Merayakan Kehidupan

Refleksi pada Ibadah Pemakaman almarhumah Ny. Barnece Sonda Samben
Seriti, 16 Februari 2008

Salam sejahtera.

Pada kesempatan ini saya sampaikan dua pokok refleksi singkat.

A. Pertama, Catatan dari Sejarah Seko.

Saya sedang merampungkan naskah sejarah masyarakat Seko. Mudah-mudahan terbit secepatnya. Saya juga berharap ada kawan-kawan yang meneliti dan menulis sejarah masyarakat Ranteballa/Pantilang, Rongkong, Maleku/Mangkutana, Kalumpang, Tana Toraja, Mamasa/PUS, Bugis Soppeng, Bugis Makassar, dan lain-lain masyarakat Kristen, yang menderita pada masa Gerombolan DI/TII. Khusus sejarah Ranteballa/Pantilang saya sudah bicara dengan Pdt. J.R. Pasolon, dosen sejarah Gereja STAKN Toraja. Mudah-mudahan pada waktunya dapat diterbitkan supaya anak cucu kita tahu sejarah masyarakat kita, khususnya periode tahun 1950-an - 1960-an masa penghambatan gereja oleh Gerombolan DI/TII.

Ada 3 kesimpulan yang saya ingin sampaikan dari sejarah masyarakat Seko. Pertama terkait dengan pengungsian. Orang Seko memilih mengungsi karena mempertahankan imannya kepada Tuhan Yesus Kristus menentang pemaksaan dan kelaliman Gerombolan DI/TII. Adanya masyarakat Seko di Seriti ini terkait dengan pengungsian karena iman itu.

Yang kedua, iman Kristen masyarakat Seko bukanlah pilihan gampang, melainkan dipertahankan dengan korban nyawa. Saya mendata para korban yang terbunuh masa Gerombolan DI/TII. Angka sementara 96 orang martir Kristen Seko, dan kemungkinan akan bertambah lagi setelah korban-korban diungkapkan.

Kesimpulan ke-3 mengenai pendidikan masyarakat Seko. Sekolah yang pertama dibuka di Kariango (kampung Pdt. Yahya Boong) pada tahun 1923. Kemudian di Pohoneang, di Beroppa’ dan lain-lain. Yang mencolok dalam hal pendidikan ini adalah gairah anak-anak Seko untuk bersekolah. Bahkan setelah tamat di Seko banyak yang melanjutkan di luar Seko: Masamba, Rongkong, Rantepao, Ma’kale, Palopo. Dan umumnya mereka yang menyelesaikan pendidikannya pulang ke Seko menjadi guru. Tidak terlalu lama mereka sekolah, hanya beberapa tahun, tetapi mereka menjadi guru yang benar guru: pengetahuan mereka mantap dan sikap mereka matang, serta komitmen mereka untuk pulang memajukan masyarakat Seko sangat tinggi. Mereka serius belajar dan rela menderita dalam perjuangan. Bagaimana anak-anak Seko berjuang dalam penderitaan bisa ditelusuri dari hidup menumpang ma’baso’-baso’ di rumah orang sampai hidup dalam “gubuk derita”. Berbeda dengan kenyataan dewasa ini, banyak orang berpendidikan tinggi dan dengan gampang mendapat gelar kesarjanaan yang isinya kosong. Karena itu jangan terkecoh dengan gelar-gelar kesarjaaan. Gelar bisa dibeli. Kalau orang suka pamer gelar kesarjaaannya, periksa apa memang ada isi di balik gelar itu; apakah apa yang dikemukakannya bermakna, dan apakah kata-katanya terbukti dalam tindakan dan komitmennya.

Salah satu temuan saya dalam sejarah masyarakat Seko mengenai pendidikan dan para guru ini adalah adanya beberapa guru yang bersekolah pada tahun-tahun awal kemerdekaan tidak pulang mengabdi di Seko. Bukan karena tidak mau melainkan karena kenyataan pendudukan gerombolan dan pengungsian. Saya mencatat secara khusus empat orang guru yang “hilang” di rantau; semuanya kebetulan keluarga saya: Kamandi, Tuttung, dan 2 dari 3 Guru Sa’bi – Frans dan Philipus Sa’bi. Hanya Pither Guripang Sa’bi yang sempat pulang. Mereka yang tidak pulang itu jadinya menikah dengan “orang luar” di rantau. Namun sekali pun tidak pulang, mereka tetap berkomitmen melayani dalam dunia pendidikan sebagai guru dan mengangkat nama orang Seko di rantau. Begitulah maka Om Kamandi menikah dengan Tante almarhumah.

B. Merayakan Kehidupan

Sampai di sini saya masuk pada pokok refleksi yang kedua: merayakan kehidupan. Belakangan ini mulai dikembangkan pendekatan baru kedukaan orang Kristen. Bukan lagi kesedihan dan penghiburan, melainkan ucapan syukur merayakan kehidupan. Intinya adalah mengucap syukur atas kasih dan kemurahan Tuhan memberi alamarhum/ah kehidupan dan menuntunnya menjalani kehidupan yang bermakna. Kita bisa bertanya apakah ada yang sungguh-sungguh patut kita syukuri atas kehidupan almarhumah Tante Mama Yako’? Pasti banyak hal; tetapi saya ingin menekankan 2 hal saja. Pertama-tama mendampingi Om Kamandi sehingga Om dapat menjalankan panggilannya baik sebagai guru maupun sebagai tokoh gereja dan tokoh masyarakat. Dalam hubungan itu dan yang bagi saya sangat penting adalah menjadi Ibu bagi anak-anaknya, adik-adik saya para Samben yunior ini. Sering orang mengatakan kesimpulan yang keliru bahwa kalau anak-anak lao sala, ibunya yang dipersalahkan; tetapi kalau anak-anak sukses bapaknya yang dipuji-puji. Yang saya mau katakan adalah fakta keberhasilan adik-adik saya para Samben muda ini: tidak saja rata-rata menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi, tetapi juga dalam karir masing-masing – dengan kelebihan dan kekurangan – mereka diterima, dihargai, diakui mutu pemikiran dan ketrampilan kerja serta pelayanan di dalam gereja dan masyarakat. Dan inilah satu pokok penting yang harus disyukuri atas hidup alamarhumah Tante, yang bersama-sama dengan Om, sukses mendidik dan menyekolahkan anak-anak dan mengantar mereka menjadi Samben-Samben muda yang membuat nama Samben tidak sekadar nama biasa, melainkan suatu nama yang bergema, yang memuat makna tertentu, makna keberhasilan, makna sumber daya manusia yang diandalkan. Dalam percakapan sambil lalu dengan beberapa keluarga saya kemukakan bahwa alamarhuman Tante adalah seorang torampe yang sungguh istimewa karena kesuksesannya melalui anak-anaknya; pada hal Tante almarhumah hanyalah ibu rumah tangga biasa. Alamarhumah patut menjadi teldan kita semua.

Saya tidak membesar-besarkan keluarga saya ini. Tetapi itulah faktanya dan itulah yang kita harus syukuri, kita rayakan. Kenyataan membawa suatu nama besar memang bisa menjadi beban bagi anak-anak dan cucu, para Samben muda. Tetapi kita meletakannya dalam perspektif iman bahwa Tuhan yang memberi Tuhan pula yang memampukan mereka membawa dan mempertanggungjawabkan nama besar itu. Dalam hubungan itu refleksi ini saya akhiri dengan mengutip satu ayat lain, ayat 7 dari Yesaya 26:

Jejak orang benar adalah lurus,
sebab Engkau yang merintis jalan lurus baginya.


Zakaria Ngelow